oleh

5 Tahun Menanti Keadilan, Ahmad Pilpala Tampar Wibawa Hukum Seram Bagian Barat

MANGGUREBEMAJU.COM, Seram Bagian Barat – Wajah hukum di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) kembali dipertaruhkan. Nama Pengadilan Tinggi Hunupopo, Kejaksaan Negeri Hunupopo, hingga aparat penegak hukum (APH) di Maluku dipaksa berkaca pada cermin kebenaran setelah seorang ayah berusia 60 tahun, Ahmad Pilpala, berteriak pilu menuntut keadilan yang sudah digantung selama lima tahun tanpa kepastian.

Kasus yang menyeret pejabat Desa Waimital sejak 2020 ini kini menjelma jadi simbol matinya wibawa hukum di Maluku. Bagaimana tidak? Uang kontrak pekerjaan senilai Rp 65 juta hanya cair Rp 28 juta, sisanya raib tanpa pertanggungjawaban. Ironisnya, ketika Ahmad menempuh jalur hukum, perkara justru macet, berdebu, dan terkesan dipasung oleh aparat hukum sendiri.

“Waktu saya habis, uang saya habis, tenaga saya habis. Tapi hukum tidak kunjung ditegakkan. Saya hanya minta keadilan, bukan belas kasihan,” ujar Ahmad dengan suara bergetar, menahan getir yang sudah ditelan selama lima tahun.

Hukum Jadi Tontonan Bisu

Kasus ini bukan sekadar sengketa uang desa. Lebih jauh, ini adalah tamparan keras terhadap marwah hukum di Maluku. Bagaimana mungkin perkara sederhana bisa dipeti-eskan selama setengah dekade? Bukankah adagium hukum jelas: “justice delayed is justice denied” – keadilan yang ditunda sama saja dengan keadilan yang dirampas?

Ahmad menuding aparat hukum di Hunupopo dan SBB berubah jadi penonton bisu. “Apakah hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas? Kalau begini, masyarakat akan hilang kepercayaan,” tegasnya.

Kritik ini tidak main-main. Ahmad bahkan menyebut pengadilan dan kejaksaan di SBB telah melecehkan wibawa hukum negara. Jika aparat penegak hukum bisa mempermainkan perkara rakyat kecil selama lima tahun, apa lagi yang bisa diharapkan masyarakat?

Mediasi Palsu dan Upaya Membungkam

Lebih ironis, pihak desa sempat menawarkan “jalan damai” berupa Rp 10 juta agar kasus ditutup. Tawaran itu ditolak tegas oleh Ahmad. “Saya tidak mau dibeli murah. Kontrak pekerjaan Rp 65 juta, yang dibayar baru Rp 28 juta. Saya sudah habiskan uang ke pengacara, saya tidak akan tarik perkara,” tegasnya.

Sikap keras Ahmad ini justru membuka mata publik bahwa upaya mediasi hanya cara licik untuk membungkam keadilan. Alih-alih menuntaskan perkara, aparat hukum justru terkesan memberi ruang bagi negosiasi di luar jalur hukum.

Maluku Darurat Hukum

Kasus Ahmad Pilpala kini menjadi cermin bobroknya penegakan hukum di Maluku. Jika aparat hukum terus menutup mata, maka legitimasi mereka sebagai penjaga keadilan hanyalah formalitas belaka.

Ahmad mendesak Bupati Seram Bagian Barat, Gubernur Maluku, Kejati Maluku, hingga Polda Maluku untuk turun tangan. Baginya, hanya campur tangan politik yang serius melihat penderitaan rakyat bisa menghentikan drama hukum yang memalukan ini.

“Kami butuh keadilan, bukan basa-basi. Kalau hukum hanya dijadikan permainan, lebih baik dibubarkan saja lembaga-lembaga itu. Negara ini berdiri atas hukum, bukan atas kepentingan,” tegas Ahmad dengan nada tajam.

Tamparan untuk Negara

Lima tahun tanpa putusan adalah bukti telanjang bahwa negara gagal melindungi rakyat kecil. Jika aparat hukum di SBB tidak segera bergerak, publik akan menilai lembaga hukum di Maluku hanyalah teater sandiwara – megah di gedung, rapuh di hati rakyat.

Kasus Ahmad Pilpala harus menjadi alarm keras: hukum di Maluku sedang sekarat. Dan jika penyakit ini terus dibiarkan, jangan salahkan rakyat bila suatu saat kehilangan kepercayaan penuh kepada negara. (*

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *